Kamis, 06 November 2014

Pergantian Kajati karena Surat Sakti Gubernur?



 
Jum'at, 24 Oktober 2014 , 00:07:00

 Jaksa Nakal Harus Dipenjarakan
JAYAPURA - Meski belum secara resmi menyerahkan jabatannya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Papua yang baru, yang notabene adalah wakilnya sendiri, namun  Kepala Kejaksaan Tinggi Papua E.S.Maruli Hutagalung sudah meluapkan rasa pesimisnya soal penanganan kasus korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Papua.
 Mengapa ia pesimis? Salah satu alasan penting adalah karena pengangkatan wakilnya sebagai Kajati Papua itu lebih karena surat sakti dari Gubernur Papua, sehingga sudah tentu dalam pemberantasan korupsi akan ada intervensi pemerintah.
 “Saya membaca  SK dari Jaksa Agung soal pemindahan saya sebagai Kajati ke Kejaksaan Agung lebih karena permintaan dari Gubernur Papua, sepertinya pesanan dari gubernur agar wakil saya menjadi Kajati Papua,” ungkapnya dengan gamblang kepada wartawan usai serah terima jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Serui di aula Kejati Papua, Kamis (20/10) kemarin.
 Hutagalung menceritakan koronologi pemindahan dirinya sebenarnya sudah tercium sejak Juli lalu, yang disusul dengan surat pada 15 Oktober lalu dari Gubernur Papua. Padahal biasanya SK soal mutasi seorang Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia lebih karena kepentingan internal organisasi, bukan karena rekomendasi gubernur. “Namun entah bagaimana khusus untuk Kejaksaan Tinggi Papua, di mana Mahkamah Agung mendengar surat rekomendasi dari Gubernur Papua,” ucapnya.
 Selanjutnya pada Senin 20 Oktober, Karo Kepegawaian pada Kejaksaan Agung datang ke Jayapura membawa satu usulan nama Kepala Kejaksaan Tinggi Papua yang akan menggantikan dirinya yang berasal dari luar Papua, ternyata rekomendasi Gubernur Papua malah meminta agar usulan tersebut tidak ditempatkan sebagai Kajati Papua, namun Gubernur Papua justru mengusulkan agar Wakil Kajati menjadi Kajati Papua.
 “Ini seakan-akan menjadi permintaan dari Gubernur Papua agar jangan orang dari luar Papua, namun Wakil Kajati Papua,” tukasnya.
 Maruli Hutagalung menuturkan dirinya sebenarnya sangat bangga, sebab bekas wakilnya bisa menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, hanya saja yang menjadi keraguannya adalah soal bagaimana bisa melakukan pemberantasan korupsi dengan baik jika Kepala Kejaksaan Tinggi Papua sendiri  akan diintervensi oleh Gubernur Papua.
 “Bisa jadi ketika hendak melakukan pemeriksaan terhadap kasus korupsi yang melibatkan pejabat di lingkugnan Pemprov Papua, maka intervensi Gubernur bisa saja terjadi, meski kita tidak menginginkan seperti itu,” tuturnya.
 Menurut Hutagalung, mungkin pemindahannya ini karena memang selama hampir dua tahun berada di Papua, dirinya begitu keras melakukan pemberantasan korupsi di Papua tanpa pandang bulu. Bahkan dua pejabat Provinsi Papua DW dan JW juga sudah masuk pada tahap tuntutan, termasuk sejumlah pejabat lainnya, dan hasilnya Kejati Papua dua tahun berturut-turut menjadi Kejaksaan tinggi berprestasi di Indonesia rangking III tahun 2013 dan rangking I pada tahun 2014.
 “Memang rangking bukan yang utama dari target kami, namun bagaimana kita ikut dalam pengawasan terhadap keuangan Negara. Intinya saya sayang Papua, sehingga ingin agar dana tersebut benar-benar digunakan sesuai dengan peruntukannya demi pembangunan di Papua,” pungkasnya.
 Sementara itu, terkait gerbong kepemimpinan Kejaksaan Tinggi Papua yang segera dilakukan pergantian menumbuhkan harapan dan penilaian tersendiri bagi sejumlah kalangan. Ada yang menegaskan pengganti Maruli Hutagalung, Herman Lose da Silva yang sebelumnya menjabat Wakajati Papua itu harus lebih baik,  meski terdengar kabar bahwa nama Herman muncul untuk mengamankan kebijakan gubernur.
 Namun ada juga yang justru mempersoalkan pergantian Maruli yang penuh konspirasi untuk mengamankan status hukum Asisten I Setda Papua, berinisial DW dan Kepala Badan Penanaman Modal JW yang masih terlilit kasus hukum dugaan korupsi.
  Selama Kejati dipimpin Maruli semua  kasus korupsi terus dikawal ketat dan membuat banyak pejabat di Papua kelimpungan karena ketegasan pria asal Medan ini. 
 Direktur Papua Anti-Corruption Investigation, Anthon Raharusun menjadi orang yang berpendapat bahwa pergantian jabatan di lingkungan organisasi manapun adalah sesuatu yang wajar. Yang terpenting adalah sejauhmana pejabat tersebut menjalankan tanggungjawabnya dari tugas yang diemban dan apakah selama ini Kajati dan jajarannya telah menjalankan tugas penegakan hukum dengan baik terutama dalam pemberantasan korupsi di Papua. Termasuk membersihkan jaksa-jaksa nakal.
  Anthon justru menilai bahwa banyak kasus korupsi yang mandek di Kejaksaan Tinggi dan di Kejaksaan Negeri Jayapura karena ulah oknum-oknum jaksa nakal yang seringkali mencoreng wajah penegakan hukum di Papua. “Jaksa nakal pantasnya diberi sanksi tegas, bila perlu penjarakan mereka, sebab bagaimana mungkin ada penegakan hukum kalau aparat penegak hukumnya ikut bermasalah dan main tebang pilih, itu tidak mungkin. Saya melihat selama oknum jaksa itu punya kepentingan pribadi dalam penanganan korupsi, maka selama itu pula jangan pernah bermimpi upaya pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan baik dan memenuhi harapan public,” beber Anthon dalam rilisnya kepada Cenderawasih Pos sore kemarin.
 Dari kondisi ini yang perlu dilakukan oleh public atau masyarakat adalah berani melaporkan oknum jaksa atau aparat penegak hukum yang nakal ke KPK. Dengan demikian bisa mencegah tindakan-tindakan oknum jaksa yang mempermainkan hukum seenaknya. “Jadi, tidak ada cara lain selain kita memperkuat gerakan civil society atau bila perlu menggunakan people power untuk melawan tirani kekuasaan dari oknum-oknum jaksa yang nakal ini dan ini sudah meresahkan jadi sebaiknya oknum-oknum jaksa nakal seperti ini jangan bertugas di Papua,” sindir Anthon.
 Mengenai  wajah penegakan hukum kasus korupsi dari pergantian Kajati ini menurut Anthon yang pernah mengikuti seleksi calon pimpinan KPK ini, bahwa siapapun aparat penegak hukum yang bertugas di Papua harus memiliki komitmen tinggi termasuk di dalamnya harus memiliki integritas moral yang tinggi dalam pemberantasan korupsi di Papua tanpa pandang bulu, tebang pilih apalagi pilih-pilih tersangka.
 “Jadi sekalipun Kajati akan diganti oleh pejabat lainnya, kalau yang menggantikan juga tetap bermental korup dan berintegritas rendah, bagaimana mungkin mau memberantas para koruptor kalau dia sendiri juga bagian dari kekuasaan yang korup,” katanya.
  Terkait pergantian Kajati lanjutnya gubernur memiliki kewenangan dalam hal penempatan seorang Kepala Kejaksanaan di Papua, menurut Anthon salah satu kewenangan Gubernur Papua berdasarkan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyebutkan bahwa pengangkatan Kepala Kejaksaan Tingi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung RI dengan Persetujuan Gubernur. Artinya bahwa Gubernur dapat saja menolak Kepala Kejaksaan Tinggi yang akan ditempatkan di Papua kalau ternyata memiliki rekam jejak korup.
  ”Jangan ada yang merasa aneh dengan kewenangan Gubenur tersebut, sebab ada kewenangan gubernur dalam pengangkatan Kajati di Papua berdasarkan undang-undang Otsus. Yang perlu dikawal adalah jangan sampai Papua hanya menjadi tempat pembuangan para pejabat korup. Apalagi mereka para pejabat itu tahu betul bahwa Papua tempat yang paling nyaman untuk mencari rejeki dan bukan tempat mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa,” ujarnya.
   “Jadi, kalau ada yang mengatakan Kajati Papua E.S. Marulli Hutagalung ditakuti para koruptor di Papua, saya malah justru balik bertanya, berapa banyak sudah para koruptor kelas kakap yang sudah masuk bui? Paling-paling hanya koruptor kelas teri saja yang masuk bui. Jadi ke mana yang kakapnya,? Itu yang harus wartawan tanyakan,” sindir Anthon.
 Namun Anthon masih optimis bila para Jaksa, Hakim dan lainnya bersih dan bermoral baik tentu akan dihormati.
  Sementara salah satu pengamat sosial politik di Kota Jayapura, Marinus Yaung berpendapat bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Papua mendapat tantangan yang serius di balik pergantian Kajati, Maruli Hutagalung.
 Publik melihat bahwa pergantian Kajati yang  tak lazim ini bukan berdasar pertimbangan profesional dan independensi lembaga  kejaksaan tetapi lebih pada pertimbangan politik dan kepentingan penguasa lokal.
 “Pendapat saya memang Gubernur diberi diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap pengangkatan Kajati Papua oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 52 ayat 2 UU Otsus Papua tahun 2001 tapi selama ini pengangkatan Kajati Papua merupakan orang yang diusulkan sendiri oleh Kejati Papua kepada Kejagung dan tidak ada intervensi Gubernur Papua di dalamnya,” sindir Yaung.
 Barulah pada kepemimpinan Maruli ini publik dikagetkan dengan indikasi adanya intervensi politik gubernur. Seharusnya kondisi ini menurut Yaung mendapat sorotan dari DPR Papua yang menjalankan fungsi pengawasan, bukan sekedar mengawasi proyek tetapi juga mengawasi kebijakan yang dikeluarkan Gubernur yang mungkin tidak pro rakyat atau memenuhi rasa keadilan bagi rakyat.
  “Tapi inilah wajah DPR kita, sering melakukan tebang pilih dalam menjalankan fungsi pengawasan sehingga sistem  chek and balance di pemerintahan lokal tidak berjalan baik. Terlepas dari tebang pilih kasus dalam menjalankan fungsi pengawasan, saya membaca ada gerakan nasional anti pemberantasan korupsi yang dilakukan secara sistematis dan masif oleh elit politik dan pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah,” beber Yaung.
 Khusus untuk Papua, penilaian Yaung justru bertolak belakang dengan Anthon Raharusun. Dirinya justru melihat dalam pemberantasan korupsi setahun terakhir cukup berhasil  karena kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi di Papua adalah penegakan tanpa pandang bulu dan tanpa interest.
 Terlepas dari kekurangan atau kelebihan Maruli Hutagalung, menurut Yaung, Maruli Hutagalung telah diakui sebagai salah satu Kepala Kejaksaan Tinggi terbaik di Indonesia oleh Kejagung karena prestasi yang luar biasa selama 1 tahun 5 bulan. Namun Yaung juga memberi catatan di mana penegakan hukum terkait korupsi belum maksimal lantaran masih ada permainan kasus di luar pengadilan oleh makelar kasus (Markus).
  Di samping itu belum ada political will yang kuat dan   memadai dari pejabat negara di Papua. Kedua kendala ini menurutnya muncul lantaran adanya intervensi politik yang masih tanpa mengenal musim. “Contoh kasus DW dan JW merupakan bukti tak terbantahkan betapa panjangnya intervensi politik penguasa terhadap kasus ini, bahkan bisa dimaknai publik sebagai bentuk serangan balasan terhadap prestasi kerja Maruli Hutagalung. Saya menilai publik harus terus mengawal kasus ini dan jangan pernah berharap pada DPRP. Gubernur dan jajarannya juga tak perlu alergi terhadap pengawasan publik, sebab korupsi harus menjadi musuh bersama,” sarannya.
 Yaung yang juga bekerja sebagai dosen Uncen dan tergabung dalam Jaringan Damai Papua ini menilai bahwa Gubernur harus memastikan bahwa lembaga peradilan seperti Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan harus bebas dari intervensi politik agar bisa menjadi contoh bagi Indonesia.
 Sedikit mengutip pernyataan Ketua KPK, Abraham Samad bahwa  fenomena korupsi di Papua aneh dan menantang karena kuatnya intervensi politik dan pejabat. “Termasuk menggunakan cara mobilisasi massa untuk menghalang-halangi proses pemberantasan korupsi,”  sindir Yaung yang juga meyakini kendati Maruli dipindahkan, akan muncul Maruli-Maruli lain di Papua.  (cak/ade/fud)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar