Rabu, 22 Oktober 2014

BAGIAN SKENARIO ASING MENDORONG ISU PAPUA

Rabu, 22 Oktober 2014 12:07

BAGIAN SKENARIO ASING MENDORONG ISU PAPUA

Marinus: Soal Penangkapan 2 Wartawan Asing

Marinus YaungJAYAPURA – Kasus penangkapan 2 wartawan Perancis yang kini disidangkan untuk menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jayapura adalah bagian dari skenario pihak asing (dunia internasional) untuk semakin menginternasionalisasikan isu Papua di luar negeri.  Tujuannya agar gerakan Papua merdeka semakin mendapat simpati dan dukungan internasional.
Pendapat itu dilontarkan Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung. “Secara politik, Indonesia sangat dirugikan dari kasus ini, karena kasus ini tidak terjadi secara kebetulan, tetapi telah diskrenariokan pihak asing,” ungkapnya saat menghubungi Bintang Papua, via ponselnya, Selasa, (21/10).
  Menurutnya, sesuai logika, normalnya dua wartawan ini sudah berpengalaman dan sudah mempelajari dulu situasi di Indonesia dan Papua sebelum mereka datang ke Papua. Mereka sudah tahu bahwa ada aturan hukum yang di Indonesia yang memberikan sanksi hukum tegas kepada orang asing yang menyalahgunakan visa mereka di Indonesia.

  Sudah tahu kok nekat? Ini jelas aneh dan patut dicurigai, dan terbukti bahwa Indonesia termakan oleh jebakan politik pihak asing di balik kasus penangkapan ini. Konsekwensi logis kasus ini ialah semakin banyak wartawan, aktivis dan akademis asing yang berminat masuk ke Papua dan telah mengajukan surat permohonan ijin masuk ke Papua dan sedang diperiksa surat-surat mereka di Clearing House Departemen Luar Negeri.
  Pihak asing semakin penasaran dengan Papua dan sepertinya kecurigaan pihak asing bahwa telah terjadi masalah kemanusiaan yang cukup serius di Papua bisa jadi semakin mendapat pembenaran di mata dunia internasional. Dan karena ancaman bahaya kemanusiaan, bisa saja PBB melakukan intervensi demi perlindungan terhadap nilai kemanusiaan di Papua.
  “Tetapi kita semua tidak berharap perkembangan politik Papua sampai ke arah itu, tapi semua tergantung kepada pemerintah Indonesia. Apakah masih terus mengisolasi Papua dari dunia internasional atau mau membuka akses yang luas untuk pihak asing masuk ke Papua dan ikut memantau jalannya pembangunan di Papua,” bebernya.
Semuanya itu sangat tergantung dari political will pemerintah dan juga putusan hukum terhadap 2 wartawan Perancis dimaksud yang rencananya akan putuskan jumat pekan ini.

Saksi Sempat Larang 2 Jurnalis Prancis ke Lanny Jaya
Sementara itu dalam lanjutan sidang kemarin, Saksi Areki Wanimbo, seorang Kepala Suku yang tinggal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, mengaku sempat melarang dua Jurnalis Perancis yang hendak ke Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua. Sidang lanjutan dugaan penyalahgunaan visa dua Jurnalis Prancis masing-masing Marie-Valentine Louise Bourrat (29) dan Thomas Charlie Dandois (40) dipimpin Ketua Majelis Hakim Martinus Bala, S.H., didampingi  Anggota Majelis Hakim Maria Sitanggang, S.H., M.H., dan Irianto P.U, S.H., M.Hum., di Kantor Pengadilan  Negeri Klas I A Jayapura, Selasa (21/10)
Menurut saksi Areki Wanimbo, terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat dan Thomas Charlie Dandois hendak ke Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya, untuk mengetahui perkembangan keadaan  keamanan di Lanny Jaya. Lalu para terdakwa bertanya kepada saksi Areki Wanimbo di Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Kamis (7/10). Namun, saksi Areki Wanimbo selaku Kepala Suku setempat sempat melarang para terdakwa yang hendak naik ke Lanny Jaya. Pasalnya, saksi seketika mendapat SMS dari pengirim tanpa identitas, bahwa di Lanny Jaya sedang terjadi kekacauan, yakni bentrok antara TNI/Polri dan OPM. Tapi, saksi Areki Wanimbo tak mengetahui keberadaan para terdakwa selanjutnya. 
Sedangkan, saksi lainnya masing-masing Frangky Nalenan dan Klausus Oktovianus Makabori selaku Staf Bagian Sub Pengawasan dan Penindakan Orang Asing Kantor Imigrasi Jayapura mengaku memperoleh barang bukti berupa audio visual milik para terdakwa, tapi  tak utuh lagi atau berisi gambar tanpa suara. Barang bukti tersebut merupakan karya jurnalistik dan wawancara para terdakwa dengan Presiden Demokrat West Papua Forkorus Yoboisembut di Doyo, Kabupaten Jayapura pada Senin (4/8) lalu.
Sidang dilanjutkan pada rabu (22/10) dengan agenda keterangan saksi ahli yang diajukan JPU.
Dalam Surat Dakwaan, JPU Sukanda, S.H., M.H., mengatakan para terdakwa didakwa melanggar Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian jo pasal  55 ayat 1 ke-1 KUHP, yakni setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan maksud izin tinggal yang diberikan kepadanya, baik orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut-serta melakukan. Sebagaimana diatur  dan diancam pidana dalam pasal 122 huruf a UU No 8 Tahun 2011 tentang keimigrasian jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara 5 tahun dan dikenakan denda kumulatif. Pasalnya, para terdakwa datang ke Papua menggunakan visa kunjungan wisata, tapi ternyata melakukan kegiatan jurnalistik, antara lain mewawancarai Presiden Demokrat West Papua Forkorus Yoboisembut di Doyo, Kabupaten Jayapura pada Senin (4/8). Kemudian bertemu tokoh OPM Areki Wanimbo di Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada  Kamis  (7/8) sekaligus berencana melakukan kegiatan jurnalistik di Kabupaten Lanny Jaya mengikuti Lembah  Baliem.      
Ia mengatakan, para terdakwa menyadari atau mengetahui untuk melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia dilarang menggunakan visa kunjungan wisata, tapi mesti menggunakan izin  jurnalis setelah mendapat Clearing House (CH) dari Kementerian Luar Negeri.
Menurut Sukanda, kedua terdakwa mengaku melakukan kegiatan jurnalistik di Papua untuk mengetahui mengapa OPM selalu berseberangan dengan pemerintah Indonesia dalam perpektiif sosial, budaya, adat-istiadat dan sejarah. Hasil kegiatan jurnalistik pada terdakwa nantinya dibuat film dokumenter dan disiarkan pada salah-satu TV di Perancis.
“Kami memiliki barang bukti yakni audio visual termasuk laptop dan ponsel yang berisi gambar dan wawancara para terdakwa dengan tokoh OPM,” tukasnya. 
Sementara itu, Penasehat Hukum para terdakwa Aristo MA Pangaribuan, S.H., dalam eksepsinya menuturkan pihaknya memohon Majelis Hakim menolak surat dakwaan yang disampaikan JPU, karena batal demi hukum. Pasalnya, surat dakwaan kabur, tak jelas dan tak menjelaskan maksud dari jurnalistik. “Kami minta kedua terdakwa segera dideportasi ke negaranya,” tegas Aristo MA Pangaribuan.
Sidang dilanjutkan pada Selasa (21/10) dengan agenda jawaban JPU terhadap esepsi para  terdakwa. Dikatakan Sukanda, para terdakwa ditangkap aparat kepolisian pada 7 Agustus 2014 di Wamena. Sebelumnya terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat bersama-sama dengan Thomas Charlie Dandois pada Senin (4/8) di Doyo, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan maksud izin tinggal yang diberikan kepadanya, baik orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut-serta melakukan.
Adapun perbuatan tersebut para terdakwa lakukan dengan cara-cara antara lain sebagai berikut.
Awalnya, terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat dan Thomas Charlie Dandois mendapat  informasi dari Nick Cherterfield warga negara Australia pengelola Media Papua Alert di Australia tentang situasi Papua, dan terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat sering melakukan Email. Selanjutnya terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat datang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada 3 Juli 2014 dengan menggunakan Paspor Republique Francaise No. 09FD72946, masa berlaku 16-07-2009 hingga 15-07-2019 dan Izin Keimigrasian visa kunjungan wisata indeks B.211 No. Register GA1231B-761 DN  yang dikeluarkan KBRI Paris pada 27 Juni 2014   berlaku selama 90 hari. Dan terdakwa Thomas Charlie Dandois datang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada 28 Juli 2014 dengan menggunakan Paspor
Republique Francaise No. 14CPB8231 masa berlaku 07-07-2014 hingga 05-05-2020 dan Izin Keimigrasian visa kunjungan kunjungan saat kedatangan/Visa on Arrival Kode Voucher VSA 7432412 yang berlaku selama 30 hari. Selanjutnya para terdakwa bertemu di Sorong, Papua Barat. Lalu pada 3 Agustus 2014 para terdakwa ke Jayapura menginap di Swissbel Hotel. (nls/mdc/don/l03)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar