Jumat, 15 Mei 2009
is hidden a big crime.
Pengantar
Adakah kaitan antara
bisnis dan korupsi? Pertanyaan ini kedengarannya seperti sebuah lelucon
saja. Sama seperti pertanyaan: adakah kaitan antara dokter dan
stetoskop? Atau: adakah kaitan antara dokter dan penyakit? Praktek
bisnis, terutama praktek bisnis korporasi besar, sarat dengan
siasat-siasat bisnis yang dapat digolongkan sebagai korupsi. Dalam
makalah ini, terlebih dahulu penulis akan menyajikan pengertian korupsi
menurut Syed Hussein Alatas dan William J. Chambliss, sebagai kerangka
teoretis untuk menyoroti praktek-praktek korupsi korporasi besar di
Indonesia. Selanjutnya, penulis akan menyajikan enam bidang kegiatan
korporasi-korporasi besar yang bergelimang dengan praktek korupsi.
Apa Itu Korupsi?
Syed Hussein Alatas
(1968) dan William J. Chambliss (1973) adalah dua orang sosiolog yang
mempelajari fenomena korupsi dalam dua sistem ekonomi yang berbeda.
Alatas mempelajari korupsi di Asia Tenggara selama dasawarsa 1950-an,
1960-an dan 1970-an, di mana kolonialisme mengukuhkan praktek-praktek
korupsi yang sudah mengakar sejak zaman feodal. Sedangkan Chambliss
mempelajari korupsi di Amerika Serikat, khususnya di Seattle, ibukota
negara bagian Washington, dari tahun 1962 s/d 1969. Temuannya tentang
‘cabal’ (jejaring korupsi) yang menjelujuri kota-kota besar di sana
meruntuhkan pandangan umum bahwa korupsi lebih merupakan gejala
negara-negara berkembang, yang belum mengenal sistem politik demokratis
yang sarat dengan checks and balances yang dianggap dapat meniadakan peluang-peluang korupsi.
Secara ringkas,
tindakan korupsi menurut Alatas mengandung unsur-unsur pokok sebagai
berikut: (a). subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau
keuntungan pribadi; (b). unsur kerahasiaan; dan (c). pelanggaran
terhadap norma-norma umum. Sedangkan jenis-jenis korupsi menurut Alatas,
terdiri dari suap (bribery), pemerasan (extortion),
dan nepotisme (lihat Aditjondro 2004: 7). Dalam wacana korupsi di
Indonesia dan di luar negeri, istilah nepotisme hanya digunakan apabila
dalam tindakan korupsi itu hanya sanak saudara atau kerabat yang
dilibatkan. Sementara kalau yang dilibatkan itu adalah kawan atau orang
dekat yang tidak punya hubungan darah dengan sang pejabat, istilah
“kroni-isme” atau “konco-isme” yang digunakan.
Chambliss, sementara itu, membongkar anggapan bahwa birokrasi dan kejahatan terorganisir (organized crime),
bukanlah dua bagian yang terpisah. Ia melihat korupsi sebagai kegiatan
dari suatu jejaring (cabal, atau ‘sindikat’), yang melibatkan
sekurang-kurangnya empat unsur, yakni birokrat (yang mengeluarkan izin),
pengusaha, politisi (yang memperjuangkan kepentingan pengusaha di dalam
dan di luar parlemen), dan aparat penegak hukum (yang dapat menentukan
perbuatan pengusaha merupakan tindakan kejahatan atau tidak). Seperti
yang telah penulis rangkum di tempat lain:
“Kepentingan ekonomi
para anggota cabal itu diproteksi lewat sogokan maupun tekanan fisik,
terhadap usaha oposisi dari anggota masyarakat yang dikuasai oleh cabal
itu. Bentuk tekanan fisik waktu itu adalah pembunuhan dengan
menenggelamkan orang-orang yang berani membangkang terhadap kemauan
sindikat pemimpin cabal itu. Pelanggaran HAM itu kemudian ditutup-tutupi
dengan bantuan statistik kematian penduduk kota itu, di mana
kasus-kasus itu sekedar dilaporkan sebagai ‘kecelakaan’, bukan
‘kejahatan’ (kriminalitas).
Sedangkan bentuk
sogokan untuk membungkam pengusaha yang keberatan membayar upeti kepada
sindikat cabal itu, ada yang berbentuk menyodorkan pekerja seks
komersial kepada mereka. Selain itu, cabal inipun rela ‘mengorbankan’
beberapa birokrat kelas teri untuk ditangkap, diadili, dan dipenjara,
seperti ketika Jaksa Agung Robert F. Kennedy berusaha membongkar
belenggu cabal itu. Ketika sejumlah birokrat ini dipenjara,
kesejahteraan keluarga mereka tetap dijamin oleh pimpinan cabal yang
pada akhirnya tetap tak tersentuh tangan hukum [pemerintah] Federal.”
(lihat Aditjondro 2004: 8-9).
Dengan demikian,
tidak cukup buat kita untuk mempelajari tindakan-tindakan korupsi
seperti sogokan, pemerasan, dan pengangkatan kerabat seorang pejabat di
lingkungan pemerintahan, atau pemberian fasilitas bisnis kepada
perusahaan milik kerabat dari seorang pejabat, tapi perlu juga kita
amati keseluruhan jejaring korupsi (cabal) di mana terjadi interaksi
yang mesra antara pejabat, pengusaha, dan aparat penegak hukum.
Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota jejaring korupsi itulah yang
biasa disebut “kolusi” di Indonesia. Dari situlah timbul singkatan
“KKN” (korupsi-kolusi-nepotisme), yang dari sudut sosiologi korupsi,
sebenarnya semuanya sudah tercakup dalam istilah korupsi. Makanya, dalam
makalah ini hanya istilah “korupsi” yang digunakan, dalam pengertian
yang sudah mencakup “kolusi” dan “nepotisme”.
Enam Bidang Kegiatan Korporasi yang Sarat Korupsi
Setiap jenis bidang usaha selalu digayuti oleh sejumlah faktor ketidakpastian (uncertainties).
Misalnya, ketidakpastian pemasokan bahan baku, ketidakpastian kecukupan
tenaga kerja, serta ketidakpastian permintaan akan produk yang
dihasilkan (ketidakpastian pasar). Itu sebabnya, suatu strategi bisnis
yang lazim di dunia bisnis adalah mengurangi satu atau lebih faktor
ketidakpastian itu. Bahkan kalau bisa, mengurangi semua faktor
ketidakpastian itu. Manajer atau CEO (chief executive officer) yang baik adalah yang dapat mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu.
Dari pengamatan
terhadap sejumlah praktek bisnis di Indonesia, ada enam bidang kegiatan
korporasi di mana faktor-faktor ketidakpastian itu berusaha ditekan
dengan cara-cara yang sarat korupsi. Keenam bidang itu adalah (a).
pengadaan dan penguasaan tenaga kerja, baik tenaga kerja dari dalam
maupun dari luar negeri; (b). pengadaan dan penguasaan bahan baku,
khususnya untuk industri ekstraktif yang mengandalkan sumber daya alam
dari daerah tertentu (misalnya dalam industri pertambangan, kehutanan,
dan perikanan) serta industri yang mengganti tanaman lokal milik rakyat
setempat dengan monokultur tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri
(HTI); (c). pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat, misalnya
tenaga air dan batubara; (d). penciptaan dan penguasaan pasar yang
bercorak monopolistik dan oligopolistik; (e). pengadaan sumber-sumber
keuangan serta pengamanan keuntungan.
Keenam bidang usaha
itu didukung oleh satu bidang yang berkaitan dengan kelima bidang tadi,
yakni (f). pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai
bidang dan fase kegiatan, mulai dari pengadaan izin untuk berusaha di
sektor yang diminati korporasi-korporasi besar tersebut.
Marilah kita lihat sekarang berbagai contoh dari keenam bidang kegiatan itu.
Ad a + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan tenaga kerja:
Mantan Menteri
Transmigrasi Martono didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya,
guna mengamankan transmigrasi tenaga kerja dari NTB untuk menjalankan
kilang kayu lapis perusahaan itu di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Dirjen
Imigrasi Sinuraya didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya,
untuk mengamankan impor tenaga kerja asing (dari Taiwan) dalam
pengelolaan anak-anak perusahaan Djajanti Djaya di Maluku dan di Gresik,
Jawa Timur.
Perusahaan pengelola
asuransi tengara kerja milik anak Menteri Tenaga Kerja, Jakob Nuwa Wea,
dilibatkan dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur
Tengah, untuk mempermulus urusan dengan Departemen Tenaga Kerja.
Ad b + f: Korupsi dalam pengadaan dan pengamanan bahan baku:
Mantan Gubernur
Papua Barat, Izaac Hindom, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Artika
Optima Inti, anak perusahaan PT Djayanti Djaya, yang memiliki daerah
konsesi hutan di Papua Barat, guna mengamankan bahan baku bagi kilang
kayu lapis PT Djayanti Djaya di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Gubernur
Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido, didudukkan dalam Dewan Komisaris
PT Hardaya Inti Plantation, guna pengamanan pengadaan lahan bagi
perkebunan kelapa sawit anak perusahaan CCM (Cipta Cakra Murdaya) di
Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (lihat Aditjondro 2004a: 54).
Ronny Narpatisuta
Hendropriyono, anak Kepala BIN (Badan Intelligence Negara), Jenderal
(Purn.) A.M. Hendropriyono, didudukkan dalam Dewan Komisaris perusahaan
di atas, untuk mengamankan perkebunan itu dari gejolak buruh dan oposisi
petani desa-desa setempat (lihat Aditjondro 2004a: 53).
Pimpinan intelligence yang
lain ada di daerah, ada juga yang jadi patron bagi pengusaha nasional
yang berkiprah di daerahnya. Kepala BIN Daerah Sulawesi Utara dan
Gorontalo, Brigjen (Pol) Wenny Warouw, sering mengaku-aku menjadi anak
angkat Nyonya Melly Pirieh, yang lebih dikenal sebagai Ny. Melly Eka
Tjipta Widjaja. Pengusaha kelahiran Poso tahun 1931 itu memang salah
seorang istri tokoh pengusaha nasional, Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek
Tjong), pemimpin kelompok Sinar Mas. Bersama ketujuh orang anaknya,
Nyonya Melly mengembangkan konglomeratnya sendiri, yakni kelompok Duta
Dharma Bhakti. Perusahaannya tersebar dari Riau sampai ke Sulawesi
Utara, tempat beroperasi HPH PT Wenang Sakti (PDBI 1997, Vol. III, hal.
A-1603 – A-1607).
Selain tokoh-tokoh
nasional seperti Hendropriyono, berbagai industri ekstraktif seperti
pertambangan, perkayuan dan kelapa sawit sering melibatkan tokoh-tokoh
yang berasal dari daerah itu, untuk meredam kemungkinan oposisi dari
rakyat setempat. Salah satu contohnya adalah kelompok industri perkayuan
di Kalimantan Tengah mendudukkan Winfred Tungken, seorang bankir asal
Kalteng, dalam dewan komisarisnya.
Di Kalimantan Barat
(Kalbar), Higang Liah, Wakil Bupati Kapuas Hulu yang masih keponakan
mantan Gubernur Kalbar, alm. Oevang Oeray, masuk dalam industri
perkayuan di daerah itu, bersama mantan Bupati Kapuas Hulu, Yakobus
Frans Layang, seorang ningrat Dayak yang berdarah campuran suku
Tamambaloh dan Iban. Perusahaan mereka berstatus PMDN lokal, berbentuk
aliansi koperasi-koperasi masyarakat adat.
Memang dari sudut
membangun potensi ekonomi lokal, prakarsa ini baik sekali. Namun dari
sudut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ada
persoalan, sebab Pasal 48 Undang-Undang itu melarang Kepala Daerah untuk
terjun secara langsung dalam bidang bisnis (lihat Aditjondro 2004:
xxiv-xxv). Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Wakil Bupati, yang dalam
banyak hal harus siap menjalankan tugas-tugas Bupati apabila atasan
langsungnya itu berhalangan.
Secara nasional,
pembentukan Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (APKINDO) yang
dipimpin oleh Bob Hasan, dapat dilihat sebagai usaha mengamankan bahan
baku bagi kilang-kilang kayu lapis milik Bob Hasan serta kerabat dan
kroni Soeharto yang lain (lihat Ekloef 1999: 125, 145-6).
Ad c + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat:
Pelibatan Ny.
Siti Hardiyanti Rukmana dalam PT Energi Sengkang dapat dilihat sebagai
langkah pengamanan sumber tenaga listrik bagi PT INCO, tambang nikel
bermodal Kanada, yang beroperasi di daerah Soroako dan sekitarnya,
Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Di Sulawesi Tengah,
di masa pemerintahan Gubernur Azis Lamadjido, seorang anak sang gubernur
menjabat sebagai Walikota Palu, seorang anak lagi menjabat sebagai
Kepala PLN Sulawesi Tengah, dan seorang lagi menjabat sebagai ketua
GAPENSI Sulawesi Tengah. Itu sebabnya kegigihan sang Gubernur untuk
mendukung rencana pembangunan seubah PLTA dengan membendung Danau Lindu
di Kabupaten Donggala, dapat dilihat sebagai usaha melindungi
kepentingan anak-anaknya untuk mengamankan pemasokan tenaga listrik bagi
perusahaan-perusahaan yang dekat dengan sang Gubernur.
Baru-baru ini,
sebelum dilantik menjadi Wakil Presiden, melalui salah satu perusahaan
miliknya, PT Bukaka Teknik Utama, Jusuf Kalla menyumbang Rp 100 juta
untuk penyelenggaraan Sidang Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST) di Tentena, Poso, 12 s/d 20 Oktober yang lalu. Mengingat bahwa
keluarga Kalla jelas-jelas bukan anggota jemaat GKST, maka ‘sumbangan’
itu, dapat dilihat sebagai usaha mengambil hati warga jemaat GKST yang
bermukim sepanjang Sungai Poso yang akan disadap energinya untuk
membangun PLTA Solewana yang berkekuatan 3 x 200 MW, yang mau tidak mau
akan punya dampak sosial yang tidak kecil. Nah, mengingat bahwa ada
perusahaan-perusahaan lain milik keluarga Kalla yang terlibat dalam
pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso, seperti
PT Bumi Karsa dan PT Bumi Sarana Utama, ‘sumbangan’ kepada GKST itu
dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber energi bagi
kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Kalla di Sulawesi Tengah.
Ad d + f: Korupsi dalam penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik:
Pengendalian harga
beras dan pengaturan impor beras oleh badan yang sama, yakni BULOG,
menguntungkan PT Bogasari serta PT Indofood yang sama-sama dimiliki oleh
keluarga Soeharto dan kelompok Salim, untuk menciptakan pergeseran menu
rakyat Indonesia ke mi instan (lihat Aditjondro 2002: 11). Seperti
ditulis oleh Mad Ridwan dan Guntoro Soewarno (2002: 18):
“Akibat penguasaan
hulu ke hilir yang mayoritas oleh Grup Salim, rakyat Indonesia dirugikan
aksesnya terhadap terigu dan seluruh produk turunannya. Kerugian ini
muncul dalam bentuk menurunnya kesejahteraan sosial yang diakibatkan
pengendalian harga terigu dan produk turunannya yang semena-mena oleh
perusahaan-perusahaan Grup Salim”.
APKINDO yang telah
disinggung di atas, juga berfungsi menciptakan pasar yang oligopsonik
bagi kilang-kilang kayu lapis yang dikuasai oleh Bob Hasan serta
sejumlah kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Aditjondro 2002:
23).
Di samping itu,
untuk mempermulus masuknya mobil Kia ke pasaran, bersaing dengan
mobil-mobil lain, kelompok Artha Graha pimpinan Tomy Winata mengangkat
Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, sebagai presiden komisaris PT Kia Mobil
Indonesia (KMI), yang mendapat lisensi untuk mengimpor dan menjual 12
jenis sedan buatan Kia Motors Corporation di Korea Selatan. Seorang anak
Hendropriyono, Ronny Narpatisuta, yang juga menjadi komisaris
perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di Sulawesi Tengah,
menjadi salah seorang direktur perusahaan itu (lihat Aditjondro 2004a:
55). Lewat hubungan yang dekat antara Hendropriyono dan Kapolri Da’i
Bachtiar, juga antara Tomy Winata dan suami mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, mobil Kia hasil impor PT KMI itu
dihibahkan ke polisi di banyak tempat. Berkat patroli polisi ke
pelosok-pelosok daerah di mana mereka bertugas, mobil Kia dipromosikan
atas biaya rakyat ke berbagai pelosok tanah air.
Perang, atau konflik
bersenjata, juga merupakan siasat untuk melariskan produk pabrik
senjata dan amunisi. Hal itu dapat dilihat dari populernya senjata dan
peluru buatan PT Pindad, pabrik senjata milik TNI/AD, di tiga daerah
konflik, yakni Aceh, Ambon dan Poso. Senapan api yang banyak dipakai
oleh pihak-pihak yang bertempur adalah SS (Senapan Serbu) 1 buatan
Pindad, sedangkan peluru yang tersebar paling merata di tiga daerah
konflik itu adalah kaliber 5,56 mm. Selain itu masih ada lagi sejumlah
senapan dan pistol serta peluru kaliber lain buatan Pindad (lihat
Aditjondro 2004b: 168-76, 2004c: 138-40).
Dalam kasus konflik
Poso, selain melalui jalur gelap, ditengarai ada seorang pengusaha
keturunan Arab asal Poso, Hasan Nazer (56), yang diduga ikut berperan
melariskan produk-produk Pindad di kabupaten yang dulu dikenal sebagai
penghasil kayu hitam itu. Setelah hijrah ke Jakarta, Hasan dan seorang
abangnya, Ali Umar, mula-mula membuka bisnis pengiriman TKW ke Arab
Saudi dengan nama Amri Brothers. Sesudah bergelimang uang dari bisnis
TKWnya, Hasan membuka bisnis pengecoran besi dan baja, PT Metinca Prima
Industrial Work, yang punya satu pabrik di Tambun (Bekasi) dan satu lagi
di Cakung.
Entah bagaimana
caranya, satu saat PT Metinca Prima Industrial Work mulai jadi pemasok
tiga komponen penting dari senjata SS-1, yakni pelatuk, hammer dan
vicier. Menurut seorang narasumber, Hasan bisa mendapat order
berkelanjutan dari Pindad itu karena hubungannya yang dekat dengan BJ
Habibie, yang diperkenalkan kepadanya oleh Jendral Faizal Tanjung.
Dalam wawancaranya dengan penulis, akhir Oktober 2003, Hasan menyangkal
bahwa ia mengenal BJ Habibie secara pribadi. Order Pindad yang
memerlukan tingkat presisi yang sangat tinggi itu baginya hanya
pemancing order-order lain dari perusahaan-perusahaan di Eropa (lihat
Aditjondro 2004c: 140).
Namun, jawaban itu
sangat meragukan. Sebab kalau betul bahwa ia sudah menjadi rekanan
Pindad sejak sebelum Soeharto lengser, maka saat itu Menristek BJ
Habibie masih menjabat sebagai Kepala BPIS (Badan Pengendali Industri
Strategis), yang juga membawahi Pindad. Selain itu, dalam beberapa
percakapannya kemudian dengan penulis, Hasan juga membangga-banggakan
hubungannya yang akrab dengan sejumlah jendral, yang katanya didasari
oleh pertemuan mereka di gelanggang olahraga karate. Berarti, besar
kemungkinan ia juga mengenal Jendral Faizal Tanjung. Akhirnya, sebagai
pemasok tunggal tiga komponen SS-1 itu, Hasan tentunya tahu berapa ribu
pucuk SS-1 yang diproduksi setiap tahun. Dengan informasi itu, ia juga
dapat memperkirakan, apakah konflik di tiga daerah itu—Aceh, Ambon, dan
di tanah kelahirannya sendiri, Poso—masih akan berkelanjutan, atau
tidak. Paling tidak, ajang latihan karate dapat menjadi ajang pertukaran
informasi tentang kondisi keamanan di tiga daerah itu.
Ad e + f: Korupsi dalam pengadaan sumber-sumber keuangan dan pengamanan keuntungan:
Winfrid Tungken,
salah seorang direktur Bank Dagang Negara (BDN), bersedia ‘dibajak’ oleh
pengusaha pemilik HPH di daerah asalnya, Kalimantan Tengah. Dengan
demikian pengusaha itu mendapat dukungan dari seorang putra daerah,
sekaligus akses ke dana kredit dari bank pemerintah yang pernah dipimpin
oleh Tungken. Alih profesi dari bankir ke komisaris
perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di bidang keuangan banyak juga
dilakukan di era Orde Baru, demi mempermudah aliran dana publik ke
perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Dari pendapatannya sebagai
komisaris dan pelobi perusahaan HPH itu, Tungken berhasil membangun
kekayaannya sendiri berupa sejumlah perusahaan penggergajian kayu,
perkebunan, peternakan, pupuk, dan lain-lain. Namun kekayaan yang cukup
besar itu tidak dapat mencegah merosotnya kesehatannya, setelah menikah
kembali sepeninggal isteri pertamanya. Ia kini berbaring dalam keadaan
koma di rumah sakit di Singapura.
Kasus paling
mencolok di bidang ini adalah peranan Fuad Bawazier, dosen FE UI yang
memperoleh gelar doktornya di AS, dalam pengadaan sumber-sumber keuangan
bagi kerabat dan kroni Soeharto. Selama menjabat sebagai Dirjen Pajak
dan kemudian Menteri Keuangan dalam kabinet Soeharto yang terakhir,
sejumlah perusahaan milik keluarga Soeharto mendapat keringanan atau
pembebasan pajak. Ia menjadi presiden komisaris PT Satelindo, perusahaan
pengelola komunikasi satelit milik Bambang Trihatmojo, Tomy Winata dan
Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD. Selain itu, ia juga dipercaya
menjadi wakil bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang didirikan
oleh Soeharto bulan Januari 1996, yang memungut pajak tambahan sebesar
2% dari setiap pembayar pajak di Indonesia, dan dalam tahun anggaran
1996-1997 berhasil mengumpulkan $ 270 juta. Sebagian dana itu diduga
digunakan untuk membiayai kampanye Golkar dalam Pemilu 1997 (lihat
Aditjondro 1998: 50; Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 75).
Namun, tindakan Fuad
Bawazier yang paling menghebohkan, atas perintah Soeharto, adalah
pembebasan bea masuk bagi 1500 unit sedan Kia yang disulap namanya oleh
Tommy Soeharto menjadi “mobil Timor”. Sebelumnya, PT Timor Putra
Nasional milik Tommy Soeharto telah mendapat pinjaman sebesar $ 690 juta
dari empat bank pemerintah dan 12 bank swasta untuk membangun pabrik
perakitan mobil Timornya. Fuad Bawazier juga berada di belakang Menteri
Keuangan Bambang Soedibyo di era pemerintahan Gus Dur, ketika Menteri
ini menghalang-halangi usaha Menteri BUMN Laksamana Sukardi membongkar
hutang PT Texmaco sebesar Rp 17 triliun kepada bank-bank pemerintah
(lihat Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 46, 66, 77, 335, 361, 420).
Dari bagian
keuntungan yang telah diperolehnya, ia ditengarai ikut membiayai PAM
Swakarsa yang diadu dengan para aktivis mahasiswa selama Sidang Umum MPR
bulan November 1998, dan juga ditengarai ikut membiayai Laskar Jihad
yang dikirim ke Maluku dan Poso, berkat hubungan baiknya dengan Pangab
Jenderal Wiranto (lihat O’Rourke 2002: 292. 420).
Yang jelas, sambil
menjabat sebagai wakil ketua MPR dalam era pemerintahan Gus Dur dan
Megawati, bekas kroni Soeharto itu berhasil membangun perusahaan pialang
saham (PT Widuri Securities), perusahaan perakitan motor Kanzen (PT
Semesta Citra Motorindo), dan perusahaan portal internetwww.detik.com bersama
Rini Suwandi. Di luar bisnisnya bersama Menteri Pedagangannya Megawati
itu ia memegang keagenan Kia jenis sedan mewah dan kendaraan militer,
melalui Kia Commercial Vehicle Industry (lihat Aditjondro 2004: 51-53).
Semua kekayaan itu
tidak membuyarkan ambisi Fuad untuk kembali memegang portofolio Menteri
Keuangan dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang diperjuangkannya
dengan meloboi sejumlah gereja Kristen di Indonesia. Apakah ia akan
berhasil atau tidak, kita lihat saja tanggal 20 Oktober 2004.
Akhirnya, bagaimana
kekayaan yang terakumulasi di dalam negeri itu dapat diamankan di luar
negeri? Sejumlah kantor pengacara dan akuntan internasional di AS, Hong
Kong, dan Negeri Belanda, serta sejumlah bank Belanda telah membantu
keluarga Soeharto mengamankan uang haram hasil korupsi mereka ke
tempat-tempat pencucian uang di Vanuatu dan Antillen Belanda. Di antara
bank-bank internasional yang turut terlibat dalam pencucian uang
keluarga Soeharto adalah Indover Bank NV, anak perusahaan Bank Indonesia
di Belanda, tiga bank Belanda, yakni MeesPierson NV, ABN-AMRO dan ING
Bank NV, sedangkan kantor-kantor akuntan internasional yang dimanfaatkan
oleh Hashim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto untuk mengutuhkan hasil
korupsi mereka adalah Ernst & Young serta PriceWaterhouseCoopers
(lihat Aditjondro 2002: 20-27).
Ad f: Pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan:
Dari berbagai contoh
di atas dapat kita lihat, betapa besarnya keterlibatan pejabat
publik—terutama eksekutif—dalam berbagai bidang kegiatan itu. Perlu
diberi catatan khusus di sini bahwa tokoh-tokoh legislatif juga ikut
berperan membela kepentingan perusahaan, di mana mereka mendapat saham
kosong. Jakob Tobing misalnya, tercatat sebagai pemegang saham
perkebunan kelapa sawit PT Laguna Mandiri, salah satu anggota kelompok
Salim, di Kalimantan Selatan (lihat Aditjondro 2004a: 57). Sedangkan
Theo Sambuaga, yang sempat dicalonkan oleh Koalisi Kebangsaan untuk
menjadi Wakil Ketua MPR-RI, tapi gagal, juga aktif berbisnis. Ia
tercatat sebagai direktur PT Mongondow Indah dengan HGU perkebunan
coklat seluas 733 hektar di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah seorang komisaris PT Texmaco
Jaya, holding company kelompok Texmaco yang dari bidang tekstil berdiversifikasi ke engineering (lihat Aditjondro 2004a: 57).
Kita tahu bahwa
kelompok Texmaco pimpinan Marimutu Sinivasan masih sedang bermasalah
dengan pemerintah, khususnya dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan
Nasional), karena masih terbelit utang sebesar Rp 29 trilyun kepada
sejumlah bank dalam dan luar negeri (Radar Sulteng, 18 Oktober 2004).
Nah, seandainya Theo Sambuaga berhasil duduk di kursi pimpinan MPR-RI,
apakah itu tidak memberikan kemungkinan padanya untuk melakukan lobbying ke pemerintah, untuk kepentingan Texmaco?
Saat ini pun,
pimpinan badan-badan legislatif tertinggi di Indonesia ada bahaya
“terbajak” oleh kepentingan bisnis salah satu keluarga terkaya di
Indonesia dan satu keluarga terkaya di Sulawesi Selatan. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang baru pertama kalinya hadir dalam arena
politik Indonesia, kini diketuai oleh Ginanjar Kartasasmita, yang
keluarga besarnya di lingkungan pengamat ekonomi politik Indonesia
dianggap keluarga kapitalis-birokrat ketiga terkaya di Indonesia,
setelah keluarga besar Soeharto dan Habibie.
Ginanjar adalah
abang kandung dari Gunariyah Kartasasmita, salah seorang komisaris dalam
PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga M. Jusuf Kalla (lihat Aditjondro
2004a: 64-5). Padahal M. Jusuf Kalla kini adalah wakil presiden
terpilih, sementara saudara iparnya, Aksa Mahmud, terpilih sebagai wakil
ketua MPR dari kubu Koalisi Kerakyatan yang pro-SBY-MJK. Nah, dengan
munculnya Ginanjar Kartasasmita, M. Jusuf Kalla, dan Aksa Mahmud ke
pentas politik nasional di pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif, maka
besar kemungkinan bahwa puluhan perusahaan milik keluarga Kartasasmita,
kelompok Haji Kalla, dan kelompok Bosowa akan mengalami masa keemasan,
apabila peraturan-peraturan untuk mencegah konflik kepentingan tidak
diterapkan di tahun-tahun mendatang.
Celakanya, budaya
politik untuk menggandengkan ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar
berikut konglomeratnya dengan kedekatan pada penguasa, sudah lama
berurat akar di bumi Nusantara. Budaya politik untuk menjadikan korupsi
sistemik berwujud jejaring (cabal) sebagai strategi bisnis yang dianggap
halal, bukan hanya berasal dari dalam negeri, tapi sudah lama juga
diterapkan oleh korporasi-korporasi transnasional yang masuk ke
Indonesia.
Masuknya maskapai
tambang Texaco di Riau dan Freeport di Papua Barat, merupakan dua contoh
masuknya korporasi transnasional melalui lingkaran kekuasaan politik ke
Indonesia. Masuknya Texaco ke Riau, di mana perusahaan itu beroperasi
di bawah nama Caltex, dibidani oleh Julius Tahiya, seorang pensiunan
perwira TNI/AD, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT
Caltex Pacific Indonesia yang pertama. Walaupun dekat dengan tokoh-tokoh
PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Soebadio Sastrosutomo, Tahiya
juga mampu memposisikan dirinya dekat dengan Presiden Soekarno. Berkat
kedekatannya dengan Soekarno itu, ladang-ladang minyak Caltex di Riau
tidak diambil alih oleh pemerintah. Setelah kudeta 1965, Tahiya berganti
loyalitas ke Jendral Soeharto (lihat Aditjondro 1999: 60; Leith 2003:
59).
Naiknya Soeharto ke
tampuk pemerintahan segera disambut oleh pimpinan maskapai tambang
Freeport. Kali ini, Julius Tahiya yang berfungsi sebagai penghubung ke
rezim yang baru. Ia didampingi oleh Ali Budiardjo, mantan Sekjen
Departemen Pertahanan di era 1950-an, yang kemudian diangkat menjadi
presiden direktur PT Freeport Indonesia yang pertama. Seluruh proses itu
terjadi di bawah bayang-bayang Foreign Intelligence Advisory Board yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden AS, Lyndon Johnson waktu itu (Leith 2003: 59-63).
Selain oleh
korporasi-korporasi transnasional, budaya politik yang menghalalkan
munculnya praktek bisnis yang korup juga disuburkan oleh Bank Dunia,
selama era Soeharto. Sesudah jatuhnya Soeharto, Bank Dunia mengakui
bahwa mereka menyadari bahwa 30 % lebih dari seluruh dana pembangunan
yang mereka salurkan melalui pemerintah Indonesia dikorupsi oleh para
pejabat pemerintah RI. Namun para petugas di kantor perwakilan Bank
Dunia di Jakarta menghalalkan tingkat korupsi yang lebih dari 30% itu
sebagai semacam “pajak” terhadap roda ekonomi Indonesia yang berputar
cukup kencang. Baru setelah krisis moneter yang berkepanjangan, pada
tahun 1999 sebuah laporan Bank Dunia tentang kinerja mereka di Indonesia
menyalahkan staf mereka yang terlalu memikirkan karier mereka sendiri,
atau terlalu takut menyinggung perasaan pemerintah Indonesia yang
merupakan salah satu “klien” Bank Dunia yang terbaik. Makanya kata
“korupsi” pun baru digunakan dalam laporan-laporan Bank Dunia tentang
Indonesia, setelah tahun 1997 (Leith 2003: 33-4).
Kesimpulan
Sebagaimana halnya kesimpulan Chambliss, bahwa kejahatan terorganisir (organized crime)
adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi, dan korupsi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi bisnis
korporasi-korporasi besar di Indonesia. Dengan kata lain, korupsi
merupakan strategi bisnis korporasi-korporasi tersebut. Khususnya,
korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal), di mana ketiga jenis korupsi
menurut Alatas, yakni sogokan, pemerasan, serta nepotisme/kroni-isme,
hanya merupakan taktik-taktik operasionalnya.
George Junus Aditjondro, Konsultan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Anggota Dewan Penasehat CeDSoS, Jakarta
Referensi:
Aditjondro, G.J. (1998). Dari
Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua
Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
---------------(1999). Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor Lorosae. Jakarta: SOLIDAMOR.
--------------- (2002). “Suharto has gone – but the regime has not changed.” Dalam Richard Holloway (peny.). Stealing From the People: 16 Studies on Corruption in Indonesia. Jakarta: Aksara Foundation, hal. 1-66.
-------------- (2004a). Membedah
Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi
Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Akitivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
--------------(2004b).
“Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi
Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur.”
Wacana, INSIST, Yogyakarta, No. 17/Th. III, hal. 137-77.
------------- (2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-55.
Ekloef, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998. Copenhagenm: NIAS (Nordic Institute of Asian Studies).
Leith, Denise (2003). The Politics of Power: Freeport ion Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
O’Rourke, Kevin (2002). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI).
Ridwan, Mad & Guntoro Soewarno (2002). Buloggate: Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal. Jakarta: Global Mahardika.
Makalah pernah
disampaikan untuk Lokakarya “The Empowerment of Civil Society
Organizations to Promote Corporate Social Responsibility in Indonesia”
yang diselenggarakan oleh The Business Watch Indonesia dan NOVIB di
Jakarta, 20-22 Oktober 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar