Rabu, 22 Oktober 2014

POLITIK UANG DIBEKUK

Oleh: Detius Yoman
(OPINI): Margajaya hanyalah desa kecil di pinggiran Bogor. Sebagian
penduduknya bertani. Tetapi, banyak juga yang bekerja di sektor informal,
pedagang kecil, sopir. Ada pula buruh-buruh pabrik yang bermigrasi harian ke
kota. Disamping, tentu saja, mayoritas anak-anak mudanya terpaksa menganggur.

Hampir tak ada yang istimewa dari desa itu. Sampai, ketika pertengahan Juli
lalu, sekelompok pemuda menjebol tradisi pemilihan kepala desa. Mereka
berhasil mengalahkan politik uang dan kemapanan. Dengan modal harapan, niat
baik, dan kesungguhan, mereka membuktikan: politik uang bukan hal yang
mustahil untuk ditaklukkan. Kegigihan anak-anak muda itu, agaknya patut
direnungkan para politikus; terutama mereka yang sangat khawatir dengan
politik uang yang diduga akan dilakukan Golkar di Pemilu mendatang.

Adalah Deni Kuswanda, pemuda 21 tahun, lulusan SMA, yang berhasil merebut
kepercayaan warga Desa Margajaya untuk duduk menjadi Kepala Desa sejak 18
Juli lalu. Deni meraih dukungan 1100 suara lebih, jauh meninggalkan dua
saingan terdekatnya yang hanya 500-an. Padahal berbeda dengan saingannya
yang mengandalkan politik uang, yang lazim dalam pemilihan kepala desa, Deni
memilih kampanye dengan menawarkan harapan. Apa yang ia akan lakukan untuk
desanya, bila nanti terpilih menjadi kepala desa. Dan ternyata, warga percaya.

Tentu saja, Deni tak memetik keberhasilan itu dengan berpangku tangan.
Beberapa bulan sebelum pemilihan, sekelompok pemuda pendukungnya telah
merancang strategi. Mereka bukan kelompok politik. Cuma kelompok pelestari
lapangan bola -kebanggaan warga Margajaya yang beberapa kali diancam gusur
oleh pengembang perumahan. Menjelang pemilihan kepala desa, anak-anak muda
itu memutuskan untuk membentuk Komite Independen Pemantau Pemilihan Kepala
Desa. Ancang-ancang yang baik untuk mencegah kecurangan.

Komite Independen itu tak direstui kecamatan. Tetapi, mereka terus bekerja
menyiapkan diri untuk pemantauan. Tak peduli ada izin atau tidak. Bukan
sekali dua, anak-anak muda dalam komite itu diancam aparat. "Pemilihan
kepala desa disini rumit," kata pejabat kecamatan yang kesal. Kepolisian pun
gerah. Ketika Komite ini memperkenalkan gagasan agar calon kepala desa
berkampanye terbuka di lapangan terbuka, intel polisi mengintimidasi dua
aktivis komite. Mereka dipanggil ke Polres, dipaksa membatalkan acara
kampanye itu.

Kampanye urung. Namun semangat anak-anak muda itu mereformasi desa mereka
tak surut. Masa kampanye adalah masa paling krusial. Mereka paham betul,
masa itulah calon-calon biasanya membeli suara, dengan hadiah-hadiah untuk
penduduk. Ada calon yang datang ke rumah-rumah penduduk dengan membawa beras
tiga kilogram, dan uang Rp3000,- untuk tiap pemegang suara. Ada calon yang
karena dekat dengan GNOTA, memberi baju seragam untuk anak-anak. Hanya Deni,
pemuda tak bermodal itu, yang tak bisa memberi hadiah apa-apa untuk calon
pemilihnya. Komite Independen tak tinggal diam menghadapi "pembelian suara" itu.

Tiap kali makelar-makelar yang mendatangi rumah-rumah  penduduk untuk
menyogok, aktivis Komite, mengawasi. Segera setelah makelar itu pergi,
giliran Komite Independen masuk ke rumah yang sama. Kepada ibu-ibu,
bapak-bapak, kakek-kakek, pemegang suara, mereka dengan sabar menerangkan.
"Kalau calon kepala desa bagi-bagi hadiah uangnya dari mana? Mereka pasti
akan korupsi kalau terpilih jadi kepala desa. Bayar utangnya dari korupsi.
Jadi lebih baik memilih calon yang jujur." Kampanye itu ternyata manjur.
Mayoritas penduduk memilih calon yang justru tidak membagi-bagi hadiah.

Operasi Fajar, seperti yang terjadi di pemilu Thailand atau juga Indonesia,
dihentikan secara efektif oleh Komite Independen Margajaya itu. Pembelian
suara yang sangat mencolok pada hari terakhir, mereka lawan sebagai tindak
kriminal.

Pengalaman itu sungguh berharga, terlebih di desa yang menderita kemiskinan
akut. Selama ini, iming-iming hadiah menjadi semacam keharusan, bagi calon
kepala desa yang mencalonkan diri. Kemiskinan menyebabkan orang dengan mudah
menjual suara mereka. Suara rakyat, bukan lagi suara Tuhan. Sebab, banyak
suara itu ternyata telah dibeli calon kepala desa. 

Akibatnya, banyak calon kepala desa terbelit utang; dan terpaksa korupsi
untuk bisa membayar kembali biaya kampanye. Tak heran, banyak kepala desa
memilih berkolusi dengan pemodal, menggusuri tanah rakyat, sekedar mencari
komisi; daripada susah-payah membela kepentingan warganya. Proses pemilihan
yang buruk, mudah berlanjut dengan kepemimpinan yang buruk. Itu sebabnya,
politik uang mesti dihentikan.

Pengalaman itu juga berharga, bagi politikus yang menghadapi pemilihan umum
Mei tahun depan. Sudah jadi rahasia umum, Golkar yang  sebetulnya tak lagi
didukung, punya dana ratusan milyar rupiah. Jauh lebih kaya dibanding
partai-partai lain. Belum lagi, kalau Soeharto berdamai dengan Golkar,
sehingga trilyunan dana yayasan yang dikelolanya bisa dipakai untuk
kampanye. Ada kekhawatiran luas, bahwa Golkar akan membeli suara, dan
memperpanjang status quo. Bila itu terjadi, reformasi tinggal kata kosong
yang menyedihkan.

Tetapi, harapan akan masa depan yang lebih baik, dengan pemimpin yang peduli
pada nasib rakyat, ternyata bisa mengubah sikap warga dalam memilih. Harapan
itulah yang mesti ditumbuhkan.  
Di samping tentu saja, kerja keras organisasi. Komite Independen di
Margajaya itu, selepas masa kampanye, memfokuskan diri pada pengawasan hari
pencoblosan. Sejak pukul 05.30 mereka telah berkumpul di tempat pencoblosan.
Memotong kuku-kuku panitia yang terlalu panjang dan biasa dipakai curang.
Menangkap enam warga yang membawa kartu suara palsu -fotocopy. Kebenaran
memang tak bisa datang tanpa usaha. Juga dalam pemilihan umum. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar