Minggu, 12 Oktober 2014

Gerakan Pemuda Kiristen Papua ,Allah di Mata Gadis Kecil

GPKP.KETUA DETIUS YOMAN

Pengalaman beberapa minggu terakhir ini terjun ke TK di Jakarta, membuatku terhenyak melihat bagaimana Tuhan diperkenalkan dan diajarkan pada anak-anak TK ini.
Tuhan dijadikan sosok kambing hitam untuk ancaman yang dilontarkan guru kelas, “Kalau kamu tidak duduk rapi, nanti Tuhan Yesus marah”, “Kalau kamu jalan-jalan terus dan nggak nurut Ibu, berarti kamu anak setan. Mau jadi anak Tuhan atau anak setan?” Kalimat seperti ini dilontarkan oleh para guru TK kepada anak-anak usia 4-5 tahun. Walaupun disampaikan dengan nada bicara yang halus namun bayangkan bagaimana konsep Tuhan tertanam pada anak-anak yang sedang berada di tahap perkembangan kognitif ini.
Ada rasa geram dan tidak rela yang tertahan melihat bagaimana Tuhan ditanamkan seperti itu pada anak-anak. Namun saya tidak dapat berbuat apa-apa, sebab saya sedang bertugas sebagai observer di kelas itu. Dalam diam saya mencoba mengingat pengalaman saya sendiri berkenalan dengan Tuhan.
Allah saya kenal melalui doa dan nyanyian yang dinyanyikan setiap pagi, malam dan ketika kami berjalan-jalan.
Di pagi hari, perkenalan dengan Allah muncul melalui ucapan syukur atas pagi hari yang telah datang, atas nafas yang masih Ia berikan kepada kami. Juga memohon berkat dan perlindungan-Nya untuk aktivitas sepanjang hari yang akan dilakukan.
Di malam hari, interaksi bersama Allah muncul dalam ucapan syukur atas satu hari yang sudah lewat, atas kesempatan untuk berkegiatan sepanjang hari, atas berkumpulnya kembali anggota keluarga di rumah untuk beristirahat bersama.
Dan Allah lebih sering muncul dalam nyanyian bukan doa hafalan.
Sebelum menyanyi, biasanya Ibu saya mengulang apa saja yang sudah kami lakukan sepanjang hari tersebut, semacam debriefing mungkin dalam terminologi di Psikologi. Saya terbantu untuk menyadari hal-hal apa yang perlu saya syukuri di satu hari itu.
Lalu kami menyanyi “Tuhan, terima kasih…Tuhan terima kasih. Tuhan di dalam surga…puji terima kasih. Amin.” Atau dengan lagu “Selamat Malam Bapa, Selamat malam Yesus, selamat malam Roh Kudus, terima kasih atas anugrah-Mu sepanjang hari ini. Ku memuji, ku bersyukur, ku muliakan nama-Mu. Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, terima kasih.”
Lebih terasa lagi ketika kami sedang dalam perjalanan bertamasya dan melihat pemandangan alam, lalu ibu mengajak kami untuk melihat keindahan alam semesta. Sambil melihat keindahan alam semesta, ia bercerita bahwa ini adalah karya Sang Pencipta. Maka muncullah kekaguman pada gadis kecil terhadap sosok pencipta Alam Semesta ini.
Gadis kecil menyadari Allah ada di setiap tarikan nafas.
Allah juga bukan sosok yang jauh dan tak terjangkau, Ia ada di dalam hati, ada di sekitar kehidupan gadis kecil maupun pada orang tua yang dengan segala kekurangan dan keterbatasan berusaha memberikan yang terbaik dengan penuh cinta.
Maka kemudian gadis kecil menyadari Allah adalah kebaikan dan kasih yang diberikan bagi diri sendiri maupun sesama.
Allah itu sahabatnya gadis kecil, sama seperti boneka beruang teman bermain gadis kecil.
Yang bisa menjadi pasien ketika gadis kecil bermain dokter-dokteran atau  bayi ketika bermain rumah-rumahan. Dan pelukan-Nya selalu hangat dan nyaman, senyaman ketika gadis kecil memeluk boneka beruang terlebih ketika memeluk ayah yang besar dan hangat.
Allah itu teman mainnya gadis kecil. Sebab gadis kecil merasa setara dihadapan-Nya, merasa begitu berharga. Representasi yang didapatkan sedikit banyak dari interaksi gadis kecil bersama ayah dan ibunya.
Allah bukan sosok yang diktaktor dan otoriter bagi gadis kecil. Ia hanya tahu kalau dirinya tidak suka dicubit, maka jangan mencubit orang lain. Kalau dirinya tidak suka dibentak-bentak, maka orang lain juga tidak suka dibentak-bentak. Perlakukan orang lain sebagaimana gadis kecil ingin diperlakukan.
Pelajaran pertama tentang Allah untuk gadis kecil bukanlah pertama-tama ritual.
Ritual muncul belakangan ketika sudah ada pengertian, kesadaran dan CINTA.
Mencintai Allah sebagaimana mencintai kehidupan sebagaimana mencintai diri sendiri.
Perjalanan mengenal Allah seiring dengan perjalanan mengenal dan menerima diri sendiri apa adanya.
Perjalanan yang masih terus berlanjut sampai sekarang mungkin sampai nafas penghabisan nanti.
Di masa gadis kecil, cukuplah ia mengenal Allah dari penerimaan orang-orang di sekitarnya, interaksi berkualitas dari orang-orang yang signifikan baginya dan diperkenalkan Allah dengan kemahaluasan-Nya melalui alam sekitar yang tidak terbatas pada bangunan gereja atau ritual di hari Minggu saja.
Betapa gadis kecil merasa begitu berhutang cinta pada Allah, Sang Pemilik dan Penyelenggara Hidup.
Sebab Ia yang telah lebih dahulu dan pertama mengasihi gadis kecil.
Sebab Ia menitipkan dan menyalurkan cinta melalui ayah dan ibu, orang-orang pertama dan terdekat gadis kecil.
Maka bertahun-tahun kemudian, betapa rasa cinta ini memunculkan ketergerakan pada gadis kecil untuk membagikan kenikmatan dan kebahagiaan cinta yang pernah direguk dari-Nya, pada orang-orang di sekitar dengan cara dan kemampuan gadis kecil sendiri.
Dan ini muncul bukan karena Alkitab mengatakan demikian, namun melalui perjalanan dan pengalaman hidupnya gadis kecil menyadari betapa Allah sungguh mencintai sebab Allah adalah Cinta itu sendiri.
Terkait dengan ilmu Psikologi,
Jika pada tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, ia mengembangkan basic trust pada pengasuh utama (caregiver) dan orang-orang yang signifikan baginya. Menurut saya, selain tumbuh rasa aman, percaya dan dicintai. Ia juga belajar memahami transendensi melalui ayah dan ibu. Orang terdekat dan signifikan sekaligus representasi Sang Pencipta di dunia gadis kecil.
Pada akhirnya ketika gadis kecil mengembangkan sendiri kedekatannya dengan Allah ia merasa disitulah ia dapat belajar untuk menjadi otentik dan apa adanya. Sebagaimana dahulu Ia mencipta.
Betapa inginnya gadis kecil merombak sistem pendidikan dan pengajaran Bina Iman di gereja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar